CINTA ADALAH SEDERHANA DAN WAJAR,
TANPA PAMRIH
Guru:
“Cinta antara pria dan wanita bukanlah cinta yang sejati namanya! Melainkan
asmara yang timbul dari kecocokan selera, baik mengenai ketampanan
mengenai watak sehingga saling tertarik,
kagum seperti orang melihat bunga-bunga indah. Gairah karena kecocokan selera
ini bercampur dengan nafsu berahi. Asmara ini penuh dengan keinginan menguasai,
memperbudak, penuh dengan keinginan dimanja, dipuja dan di sanjung tinggi,
disamping keinginan menikmati keputusan dari hubungan yang didorong nafsu berahi.
Semua ini bersumber dari Si Aku yang selalu menunjukkan segala hal demi
kepentingan dan kesenangan diri sendiri, biarpun dengan cara yang cerdik
berliku-liku, tujuan terakhir adalah untuk diri sendiri, untuk Si Aku. Karena
itulah, asmara antara pria dan wanita ini menimbulkan hal-hal gila seperti
sekarang ini. Kalau diputuskan menimbulkan duka, kalau dikhianati menimbulkan
benci, kalau kurang tanggap menimbulkan cemburu. Pendeknya, asmara antara pria
dan wanita menimbulkan bermacam pertentangan, ketakutan, yaitu takut
kehilangan, dan duka. Itulah cinta antara peria dan wanita yang kau
agung-agungkan itu!”.
Murid: “Mungkin itu gambaran cinta seorang yang
berwatak buruk, seorang yang hanya ingin mementingkan dirinya pribadi! Cinta
seorang yang berhati murni amat bersih, sanggup berkorban, dan siap melakukan
apapun juga, bahkan berkorban nyawa kalau perlu, untuk orang yang dicintai!”
Guru:
“Ha-ha-ha, alasan kuno yang sudah menjadi kembang bibir semua orang yang
dimabok cinta! Memang aku percaya bahwa engkau akan berani berkorban nyawa
untuk gadis yang kaucinta, Bun Beng. Akan tetapi bagaimana seandainya gadis itu
tidak membalas cintamu? Bagaimana kalau engkau melihat dia berkasih-kasihan
dengan pria lain? Bagaiman kalau dia tidak setia kepadamu, memperolok cintamu
dan dengan mencolok bermain cinta dengan pria lain di hadapanmu? Apakah engkau
rela dan cintamu akan tetap?”.
Murid: “Ah, masa begitu, Locianpwe?
Bagaimana cinta seorang anak kepada ibunya?”
Guru: “Itupun palsu! Seorang anak
merasa terkurung budi kepada ibunya, orang terdekat dengannya sejak kecil!
Orang yang bersikap manis, orang yang selalu digantunginya, disandarinya,
sehingga dia terbiasa oleh perlindungannya dan setelah Si Anak sejak bayi
deiberikan kepada seorang wanita lain.
Kalau wanita itu melimpahkan kebaikan – kebaikan kepadanya, tentu anak
itu akan berhutang budi pula. Ini pun bersumber pada Si aku, coba kalau seorang
ibu bersikap buruk kepada anaknya, bersikap kejam dan sebagainya, apakah Si
Anak akan tetap mencintainya seperti yang di ucapkan mulutnya? Lihat saja semua
orang yang telah dewasa, setelah menikah, bahkan perasaannya lebih mendekat
kepada suami, istri, dan anak-anaknya?”
Murid: “ Wah, locianpwe pandai sekali
berdebat. Bagaimana kalau cinta kasih seorang ibu kepada anaknya? Nah,
beranikah Locianpwe menyangkalnya dan mengatakan bahwa cinta kasih seorang ibu
kepada anaknya juga palsu?”
Guru:“memang palsu selama Si Ibu mengharapkan
kesenangan dari cintanya itu. Kalau seorang ibu hendak membuktikan cintanya
palsu atau bukan, dia boleh bertanya kepada diri sendiri, marahkah dia kalau Si
Anak tidak menurut kata-katanya, bencikah dia kalau Si Anak berani melawannya
dan bersikap kurang ajar kepadanya, dan dukakah dia kalau Si Anak melupakanya
dan tidak membalas budi kepadanya. Kalau benar demikian, maka sesungguhnya dia
tidak mencintai anaknya, karena dimana ada cinta, di situ tidak mungkin ada
kebencian, kemarahan dan kedudukan.”
Murid: “Wah, kalau begitu pendapat
Locianpwe, cinta perasaan manusia biasa!
Agaknya hanya cinta terhadap Tuhannya saja yang suci!”
Guru: “Sama sekali tidak! Cinta
manusia terhadap Tuhan lebih munafik lagi! Sesungguhnya bukan cinta, melainkan
pemujaan dan pemujaan ini palsu belaka kalau di baliknya terdapat keinginan
agar memperoleh balas jasa atau imbalan. Kalau manusia memuja Tuhan dengan niat
agar memperoleh imbalan berkah, baik selagi masih hidup atau kelak kalau sudah
mati, maka pemujaan itupun palsu belaka, seperti jual beli! Cinta adalah
sederhana dan wajar, tanpa pamrih, karenanya tidak akan mendatangkan
kekecewaan, benci atau duka.”
Asmaraman S Kho Ping Hoo
Ngaji Filsafat 383 : Psychology of Broken Heart | Dr.
Fahruddin Faiz, M. Ag
Youtube, MJS Channel
0 komentar:
Posting Komentar