Minggu, 12 Februari 2023

CINTA ADALAH SEDERHANA DAN WAJAR, TANPA PAMRIH

 

CINTA ADALAH SEDERHANA DAN WAJAR, TANPA PAMRIH

  Guru: “Cinta antara pria dan wanita bukanlah cinta yang sejati namanya! Melainkan asmara yang timbul dari kecocokan selera, baik mengenai ketampanan mengenai  watak sehingga saling tertarik, kagum seperti orang melihat bunga-bunga indah. Gairah karena kecocokan selera ini bercampur dengan nafsu berahi. Asmara ini penuh dengan keinginan menguasai, memperbudak, penuh dengan keinginan dimanja, dipuja dan di sanjung tinggi, disamping keinginan menikmati keputusan dari hubungan yang didorong nafsu berahi. Semua ini bersumber dari Si Aku yang selalu menunjukkan segala hal demi kepentingan dan kesenangan diri sendiri, biarpun dengan cara yang cerdik berliku-liku, tujuan terakhir adalah untuk diri sendiri, untuk Si Aku. Karena itulah, asmara antara pria dan wanita ini menimbulkan hal-hal gila seperti sekarang ini. Kalau diputuskan menimbulkan duka, kalau dikhianati menimbulkan benci, kalau kurang tanggap menimbulkan cemburu. Pendeknya, asmara antara pria dan wanita menimbulkan bermacam pertentangan, ketakutan, yaitu takut kehilangan, dan duka. Itulah cinta antara peria dan wanita yang kau agung-agungkan itu!”.

Murid:  “Mungkin itu gambaran cinta seorang yang berwatak buruk, seorang yang hanya ingin mementingkan dirinya pribadi! Cinta seorang yang berhati murni amat bersih, sanggup berkorban, dan siap melakukan apapun juga, bahkan berkorban nyawa kalau perlu, untuk orang yang dicintai!”

Guru:  “Ha-ha-ha, alasan kuno yang sudah menjadi kembang bibir semua orang yang dimabok cinta! Memang aku percaya bahwa engkau akan berani berkorban nyawa untuk gadis yang kaucinta, Bun Beng. Akan tetapi bagaimana seandainya gadis itu tidak membalas cintamu? Bagaimana kalau engkau melihat dia berkasih-kasihan dengan pria lain? Bagaiman kalau dia tidak setia kepadamu, memperolok cintamu dan dengan mencolok bermain cinta dengan pria lain di hadapanmu? Apakah engkau rela dan cintamu akan tetap?”.

Murid: “Ah, masa begitu, Locianpwe? Bagaimana cinta seorang anak kepada ibunya?”

Guru: “Itupun palsu! Seorang anak merasa terkurung budi kepada ibunya, orang terdekat dengannya sejak kecil! Orang yang bersikap manis, orang yang selalu digantunginya, disandarinya, sehingga dia terbiasa oleh perlindungannya dan setelah Si Anak sejak bayi deiberikan kepada seorang wanita lain.  Kalau wanita itu melimpahkan kebaikan – kebaikan kepadanya, tentu anak itu akan berhutang budi pula. Ini pun bersumber pada Si aku, coba kalau seorang ibu bersikap buruk kepada anaknya, bersikap kejam dan sebagainya, apakah Si Anak akan tetap mencintainya seperti yang di ucapkan mulutnya? Lihat saja semua orang yang telah dewasa, setelah menikah, bahkan perasaannya lebih mendekat kepada suami, istri, dan anak-anaknya?”

Murid: “ Wah, locianpwe pandai sekali berdebat. Bagaimana kalau cinta kasih seorang ibu kepada anaknya? Nah, beranikah Locianpwe menyangkalnya dan mengatakan bahwa cinta kasih seorang ibu kepada anaknya juga palsu?”

 Guru:“memang palsu selama Si Ibu mengharapkan kesenangan dari cintanya itu. Kalau seorang ibu hendak membuktikan cintanya palsu atau bukan, dia boleh bertanya kepada diri sendiri, marahkah dia kalau Si Anak tidak menurut kata-katanya, bencikah dia kalau Si Anak berani melawannya dan bersikap kurang ajar kepadanya, dan dukakah dia kalau Si Anak melupakanya dan tidak membalas budi kepadanya. Kalau benar demikian, maka sesungguhnya dia tidak mencintai anaknya, karena dimana ada cinta, di situ tidak mungkin ada kebencian, kemarahan dan kedudukan.”

Murid: “Wah, kalau begitu pendapat Locianpwe, cinta perasaan manusia biasa!  Agaknya hanya cinta terhadap Tuhannya saja yang suci!”

Guru: “Sama sekali tidak! Cinta manusia terhadap Tuhan lebih munafik lagi! Sesungguhnya bukan cinta, melainkan pemujaan dan pemujaan ini palsu belaka kalau di baliknya terdapat keinginan agar memperoleh balas jasa atau imbalan. Kalau manusia memuja Tuhan dengan niat agar memperoleh imbalan berkah, baik selagi masih hidup atau kelak kalau sudah mati, maka pemujaan itupun palsu belaka, seperti jual beli! Cinta adalah sederhana dan wajar, tanpa pamrih, karenanya tidak akan mendatangkan kekecewaan, benci atau duka.”

 

 

 

Asmaraman S Kho Ping Hoo

Ngaji Filsafat 383 : Psychology of Broken Heart | Dr. Fahruddin Faiz, M. Ag

Youtube, MJS Channel


0 komentar:

Posting Komentar